12.21
0

Ini merupakan tulisan yang terdapat di Kompas ketika perayaan hari Anak Indonesia, sungguh keprihatinan kita semua terhadap sikap pemerintah. Padahal sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945 anak adalah titipan penerus bangsa Indonesia.


"Kami anak Indonesia bertekad menjauhi segala bentuk zat adiktif termasuk minuman keras, narkoba, dan rokok serta memohon kepada masing-masing pemerintah daerah untuk membuat kawasan tanpa rokok di setiap tempat aktivitas anak, menaikan harga rokok, membuat peringatan kesehatan bergambar pada pembungkus rokok, serta melarang iklan rokok sama dengan minuman keras."

oleh Kurdiyan, duta anak asal Lampung

KOMPAS.com - Hal itu diucapkan dengan lantang oleh Kurdiyan, duta anak asal Lampung, ketika membacakan poin keempat suara anak di Gedung Merdeka Jalan Asia Afrika, Bandung. Ada enam poin lain dalam suara anak yang dibacakan bergantian dengan Rizky Aulia, duta anak asal Jambi. Enam duta anak lain mendampingi keduanya di atas panggung.

"Kalau Presiden tidak mau mendengar suara anak, Tuhan pasti mendengar," kata Arist Merdeka Sirait

Pembacaan suara anak dihadapan sekitar 300 duta anak lain itu bertepatan dengan Hari Anak Nasional (HAN) pada 23 Juli 2011. Sebenarnya, pembacaan itu di luar skenario awal. Rencana awal, duta anak akan menyuarakan hak-hak mereka di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan para pejabat negara ketika acara puncak HAN di Ancol, Jakarta Utara.

Namun, rencana itu dibatalkan. Akhirnya, mereka memilih membacakan aspirasi mereka di Gedung Merdeka tanpa ada unsur pemerintah pusat. Di Ancol, acara HAN tetap berlangsung. Wakil Presiden Boediono diutus Presiden untuk menghadiri acara tersebut. Presiden tidak bisa hadir. Kepala Negara memilih menghadiri acara Rapat Koordinasi Nasional Partai Demokrat di Sentul, Bogor.

"Kalau Presiden tidak mau mendengar suara anak, Tuhan pasti mendengar," kata Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) kesal menyikapi peristiwa itu.

2010

Pembatalan deklarasi anak-anak di acara kenegaraan itu bukan terjadi tahun 2011 saja. Jika tahun ini dibatalkan sekitar sepekan sebelum acara, tahun 2010 jauh lebih tragis. Pembatalan pembacaan suara anak di HAN yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, dilakukan dalam hitungan menit sebelum dibacakan.

Ketua Komnas PA saat itu, Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto, menjelaskan, dua duta anak lengkap dengan pakaian adat saat itu telah siap di belakang panggung menunggu waktu berhadapan dengan Presiden Yudhoyono. Pegawai Istana lalu menemui duta anak dan meminta untuk tidak membacakan suara anak yang sudah masuk dalam susunan acara. Alasannya, waktu yang dimiliki Presiden terbatas.

Ketika itu, Kak Seto tengah sibuk tampil dalam opera anak. "Waktu itu ada petugas, bilangnya dari Setneg (Sekretariat Negara). Langsung tidak boleh dibacakan. Kemudian saya coba turun tangan untuk klarifikasi itu semua. Tapi dengan alasan yang dibuat-buat, pokoknya tetap tidak bisa," kata Kak Seto.

Sebelum dibatalkan, jauh di pulau seberang, tepatnya di salah satu hotel di Pangkal Pinang, Kepulauan Bangka Belitung, ratusan duta anak dari seluruh Indonesia menunggu dua rekannya menyampaikan suara anak di hadapan Presiden dan khalayak ramai. Mereka lesehan di dua televisi berlayar lebar.

Senyum, tawa, hingga riuh tepuk tangan mewarnai susana "nobar". Keriangan mereka perlahan hilang ketika tahu acara yang ditunggu-tunggu batal dibacakan. Tak lama, sebagian dari mereka tak mampu menahan emosi. Akhirnya, tangis pun pecah.

PEMBACAAN SUARA ANAK

Pengalaman pembatalan tahun 2010 membuat anak-anak lebih tenang menghadapi pembatalan tahun 2011. "Kami tidak tahu alasan kenapa tidak dibacakan. Hanya tahu kalau tahun lalu juga dibatalkan. Kami semua kecewa. Tak ada yang marah, tapi kecewa karena pemerintah tak mau mendengar suara anak-anak," kata Anggun, duta anak asal Lampung.

Salah satu dari delapan poin suara anak tahun 2010 memang berisi permintaan anak agar dilindungi dari bahaya rokok yang dapat merusak kesehatan. Arist maupun Kak Seto menduga kuat substansi itu lah yang membuat pembacaan suara anak dibatalkan.

Padahal, Arist menjelaskan, latar belakang poin itu muncul lantaran pelayanan kesehatan di kabupaten/kota di berbagai daerah sangat buruk dan tidak berpihak pada anak. "Maka, suara anak minta jaminan kesehatan," kata dia.

Dikatakan Arist, suara anak dibahas secara demokratis oleh perwakilan anak dari seluruh provinsi. Kongres Anak Indonesia tahun 2010 berlangsung di Pangkal Pinang dan 2011 di Bandung. Awalnya, perwakilan anak dari masing-masing provinsi membawa permasalahan di daerah mereka seperti masalah kesehatan, pendidikan, dan lainnya.

Berbagai masalah itu kemudian dirumuskan menjadi suara anak tanpa ada intervensi pihak luar. Poin tentang rokok, kata Arist, muncul pertama kali ketika Kongres Anak Indonesia tahun 2009. Saat itu, perwakilan anak menceritakan pengalaman menjadi perokok pemula akibat masifnya iklan rokok.

"Kita sambut baik. Deklarasi itu justru lahir dan muncul dari pemahaman dan pengalaman mereka. Mereka ingin pemerintah memberikan jaminan untuk menghindarkan anak dari asap rokok, dari iklan, promosi, dan sponsor rokok. Itu dianggap mereka salah satu kontribusi anak menjadi tidak sehat," papar pria brewokan itu.

Kekhawatiran anak bukan tanpa alasan. Data Pusat Promosi Kesehatan Kementerian Kesehatan tahun 2011, setidaknya ada 40,3 juta anak berusia nol hingga 14 tahun terpapar asap rokok. Sekitar 1,7 persen perokok mulai menghisap rokok pada usia 5 tahun hingga 9 tahun.

"Anak minta perlindungan terhadap rokok pada siapapun. Mereka minta dilindungi dari zat adiktif. Karena belum dipenuhi, maka mereka minta terus," pungkas Arist.

0 comments:

Posting Komentar